Minggu, 17 November 2013

Menutup Telinga Bahkan Sebelum Selesai Pengantar

Siapa tidak kenal budaya lenong? Teater a la Betawi ini jelas kita kenal betul. Konsep Lenong bahkan marak pada program-program yang ditampilkan pada stasiun-stasiun televisi tanah air. Niatnya menghibur, tentunya, namun sayangnya budaya "main nyablak" yang biasa dilakukan penonton lenong pada para pemeran terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini terbukti beberapa minggu yang lalu ketika saya mengikuti kelas debat. Pembina kelas memberikan kita arahan untuk membuat set up kasus dimana kami harus menjadi tim kontra bagi program yang justru mendukung budaya ketimuran dan keagamaan masyarakat kita--masyarakat Indonesia. Memang itu bertabrakan dengan iman yang tertanam dalam benak kami, tapi itu adalah bagian dari proses pembelajaran. Penulis mengerti bagaimana pembina mencoba mengajak kami untuk menanggalkan eksklusifitas dan membuka pikiran kami, lagipula bukannya mustahil kami dihadapkan pada kasus ini dalam kompetisi debat suatu saat nanti. Sayangnya, tidak semua peserta kelas memahami maksud tersebut.

Banyak dari peserta kelas yang mengajukan pernyataan-pernyataan yang kesannya melawan namun masih dengan sopan. Parahnya, seorang peserta kelas menyemburkan perlawanan terang-terangan tanpa sopan santun sedikit pun. Tanpa meminta izin interupsi dan mengangkat tangan, begitu saja dia lontarkan kalimat perlawanan yang mengatasnamakan seluruh peserta serta secara tersirat menuduh bahwa si pembina menganut keyakinan yang bersebrangan dengan iman mau pun budaya kami. Setelah itu peserta lain pun ikut berkomentar berbarengan dengan maksud menyerang si pembina.

Hal ini sangat disayangkan karena jelas, cara tersebut sangatlah tidak pantas untuk dilakukan. Selain karena tidak sopan, perlakuan ini jelas menunjukan ketidakmampuan dalam menerima perbedaan. Pembina tersebut bahkan belum sempat menyampaikan pembenaran dan alasan dari tindakannya, namun begitu saja dia ditolak meski sebenarnya, dia berada disitu untuk membantu kami belajar. 

Bukan hanya di kelas tersebut saya menemukan tindakan semacam itu. Dalam pertemuan RT, seminar, dan banyak kesempatan saya dapati ada saja orang yang berkomentar tanpa berpikir terlebih dahulu. Kata-kata yang diterimanya ditelan mentah-mentah dan ditolak begitu saja sebelum mereka menemukan makna yang sesungguhnya. Tindakan tersebut pada akhirnya tidak merugikan nama satu pihak saja, tapi menurunkan kualitas dari pembicaraan yang tengah berlangsung.

Kita harus menerima kenyataan bahwa setiap orang memiliki kemampuan komunikasi berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak mampu menjelaskan dengan baik pemikirannya dalam kata-kata, ada juga yang terlalu berbelit-belit. Siapa yang tahu orang itu masih memberi pengantar dan menyimpan isi serta kesimpulan dari pemikirannya belakangan? Itulah sebabnya, lebih baik kita menghargai siapa pun berbicara, mengutarakan maksudnya. Kalau ada yang kurang disetujui, klarifikasi terlebih dahulu. Jangan main sembur dengan konten yang menjatuhkan lawan bicara bahkan saat bukan waktunya untuk bicara.

Lenong adalah budaya yang baik jika dinikmati sebagai seni. Tapi alangkah baiknya dalam kehidupan nyata, kita lebih menghargai orang berbicara. Buka telinga, buka pikiran, cobalah tanggalkan eksklusifitas dan melihat dari sudut pandang orang itu. Bukankah dengan demikian kita akan mampu lebih bijaksana? Dalam berpikir dan mengambil keputusan kita akan mampu melibatkan perspektif yang berbeda.

Mari kita saling menghargai,

Gee ^ ^

Jumat, 16 Agustus 2013

Bagimu (Anak) Negeri



Wew, sudah 68 tahun sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pertama dibacakan di depan umum. Sejak tadi saya merinding mendengar lagu Bagimu Negeri berkumandang selagi memandangi kibaran bendera merah putih di depan rumah, di lain sisi ini juga membuat saya merasa miris. Masih saja sering saya mendengar ungkapan-ungkapan seperti di bawah ini:

Waktu nonton film yang cinematography-nya keren dari luar negeri:
“Kapan ya Indonesia bisa kayak gitu? 50 tahun lagi juga belum tentu.”

Waktu baca berita:
“Payah banget sih politik negeri ini. Males juga ngedukungnya. Bisanya cuma korup.”

Waktu ngomongin cita-cita:
“Gua mah kalo udah sukses, punya banyak uang mau tinggal di luar negeri. Indonesia nggak maju-maju.”

Nahlo! Gimana mau merdeka kalau jalan pikir orang-orangnya kayak gitu? Memprihantinkan memang, tapi ini kenyataannya. Lebih banyak yang mempertanyakan “Apa yang bisa negara ini beri untuk saya?” daripada yang memikirkan ”Apa yang bisa saya beri untuk negara ini?”

Mimpi untuk menjadi hebat dan kaya bukan suatu hal yang salah. Tapi jangan juga mengejar kekayaan atas materi dan kekuasaan, melainkan karya. Ya, seharusnya kita juga berusaha untuk bisa kaya akan karya. Karya yang bukan hanya mampu menunjukan eksistensi diri namun juga membantu mengharumkan nama negeri ini.

Coba lihat prestasi yang diberikan teman-teman kita Juli lalu, di ajang Olimpiade Matematika Internasional ke-54 yang diadakan di Santa Marta, Kolombia, pada 18-27 Juli 2013. Stephen Sanjaya dan enam anak Indonesia lainnya berhasil membawa pulang dua medali emas dan empat medali perak. Tetapi bukan hanya mereka pahlawannya di sini, melainkan timpengajar mereka yang mampu membuat mereka seperti ini. Orang yang telah mengajarkan mereka bukan hanya berkarya untuk eksistensi diri, pengajarannya mampu mencerdaskan anak-anak ini dan membawa mereka mengaharumkan nama negara. Dengan demikian, karyanya mengkaryakan hal yang lainnya. Menjadi inspirasi bagi banyak anak lainnya.

Setiap dari kita memiliki bekal masing-masing. Mudahnya saja, bagi para kaum terpelajar, sebelum membuat terobosan baru yang besar untuk diterapkan, hendaknya terlebih dulu menerapkan apa yang telah dia pelajari dan mengajarkannya bagi orang disekitarnya yang mungkin kurang mengerti. Mulai dari mengajarkan adik mengerjakan PR-nya sampai membagikan ilmunya untuk memberdayakan Sumber Daya Manusia di sekitar. Kalau ada yang mau niat belajar, mbok ya dibantu, jangan diragukan atau diremehkan terlebih dahulu. Sudah saatnya para kaum terpelajar membukakan mata orang-orang yang belum sadar akan entingnya belajar. Bukan saja dengan demo, tapi mensosialisasikan issue-issue penting. Buat waktu yang kita habiskan untuk menimba ilmu berarti.

Bagi kita pemuda, sudah saatnya kita bekerja menciptakan dunia yang kita impikan. Muak dengan politisi yang korup, jadilah politisi berikutnya yang bersih. Kesel lihat film Indonesia yang gitu-gitu aja, ya pelajarilah bagaimana cara membuat yang lebih baik dan ciptakan. Merasa Indonesia gak maju-maju, ini tugaskita untuk memajukannya. Seperti Mathama Gandhi pernah berkata, Be the change we wish to see. Jangan menunggu Indonesia bisa ini dan itu untuk mencintai negeri sendiri. Kenalilah Indonesia lebih dekat lagi, jadilah bagian di dalamnya, bangunlah jiwanya bangunlah raganya untuk Indonesia raya. Sadarkan orang-orang disekitar kita betapa berharganya negeri ini dan buat mereka mencintainya.

Buat Dirgahayu Indonesia ke-68 ini sebagai titik tolak kita menuju Indonesia yang lebih baik. Optimis, bersama-sama kita lakukan gerakan pembangunan dari pribadi kita masing-masing. Kita pribadi yang merdeka dari stereotape kebobrokan Indonesia mampu membuktikan bahwa kita lebih baik.

Buat Indonesia merdeka,



Gee ^0^”




Rabu, 17 Juli 2013

Syarat Baku Dalam Bermimpi

     Saya baru saja menonton sebuah film dengan banyak filosofi bagus yang terkandung dalam dialog-dialog\nya. Ceritanya sendiri bahkan menyiratkan pelajaran-pelajaran yang berharga. Saat awal film, terlihat bahwa fokus utama terletak pada seorang jago pedang bernama Lancelot. Semakin lama film berjalan, muncullah tokoh pria mencolok lainnya, yakni King Arthur. Seorang raja bijak yang memimpin kerajaan besar dengan hukumnya yang adil dan penuh cinta kasih.Film tersebut adalah First Knight.
     Dari begitu banyaknya dialog bermakna di dalam film tersebut, saya mengutip sebuah dialog singkat dari King Arthur yang begitu saya sukai,
"Only a fool wants what he can not have."
Atau dalam bahasa bisa diartikan menjadi: 
"Hanya orang bodoh yang menginginkan hal yang tidak bisa mereka miliki."
Mungkin kalimat yang terucap dari tokoh raja bijaksana tersebut tedengar biasa atau justru terdengar begitu kasar, seperti kata-kata orang dewasa yang dengan mudahnya membunuh mimpi seorang anak kecil. Tapi saya yakin  bukan itu yang sesungguhnya terkandung di dalam kutipan tersebut. Menonton film ini disertai sebuah perenungan sederhana membuat saya berpikir, ada benarnya juga perkataannya. Memang hanya orang bodoh saja yang menginginkan sesuatu yang tidak bisa dimilikinya.
     Lalu apakah anda beranggapan saya adalah seorang pesimis? Saya harap tidak. 
     Apakah anda menganggap saya seorang yang terlalu realistis? Saya justru menganggap diri saya lebih kepada idealis.
     Lantas apa yang membuat saya berpikir demikian? Begini logikanya. Untuk apa kita menginginkan sesuatu yang menurut kita tak mungkin dicapai? Toh sejak awal kita menganggap itu sebagai suatu hal yang tidak mungkin. Iya, kan?

Lalu apa solusinya? Sederhana saja. Inginkan hal yang bisa kau miliki dan miliki apa yang kau inginkan. Titik.

     Maksud saya dengan "inginkan hal yang bisa kau miliki" di sini bukanlah untuk memupuskan mimpi-mimpi tinggi kita sebelumnya. Saya tidak bilang bahwa mimpi yang hebat tidak bisa kita miliki. Nilai mimpi kita itu terletak bukan pada besarnya, bukan pada sulitnya, intinya itu bukan pada segala faktor yang di luar diri kita; melainkan ada pada pemikiran kita sendiri. Saya ingin kita meyakini apa yang sudah kita impikan itu. Jika kita sudah yakin benar bahwa kita bisa memilikinya, maka segalanya akan lebih mudah kita gapai. Segala rintangan akan selalu dibarengi dengan jalan yang baru.
     Selain itu, hey! Jangan lupa inginkan dulu apa yang sudah kamu miliki sebelumnya. Seseorang tidak akan bisa menghargai sesuatu yang belum dia raih jika sesuatu yang sudah diraihnya saja tidak dia pedulikan. Sadarilah apa yang telah kau miliki, jadikanlah ia berguna, dan hargailah dia dengan bersyukur.
     Dan selanjutnya, maksud saya dengan "milikilah hal yang kau inginkan" adalah dengan terus memegangnya teguh di dalam hati dan pikiran kita supaya kita dapat termotvasi setiap menemukan kesulitan dalam menghadapinya. Dengan terus mencamkannya dalam perasaan dan pikiran kita, mimpi tersebut akan hidup di dalam kita.

Sejatinya mimpi sendiri adalah gairah hidup. Mimpi--baik ketika kita tidur maupun di saat kita membuka mata--mampu memberikan opsi baru terhadap masa depan kita. Teruslah bermimpi wahai pemimpi, selama kita tidak lupa untuk mewujudkannya. Ada waktunya kita harus bertindak, bukan hanya hidup dalam lamunan

Jangan lupa untuk terbangun,

Gee A___A"

Minggu, 23 Juni 2013

Berawal dari Krisis Identitas Menuju Pembentukan Diri


“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.”   –Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian (Jakarta: LP3ES, 1982), Cetakan 42 hal. 46.
“Aku bukan wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku.” –Ibid, hal. 55.
Dua kutipan Wahib di atas hanyalah sekian dari banyaknya runcing bambu yang menyadarkan saya atas salah satu permasalahan di era kita ini. Buku Soe Hok Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran ini memberi saya begitu banyak filosofi yang menghibur diri yang terkadang merasa sepi dan sendiri di tengah perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Kita bangsa Indonesia, pada hakikatnya terbentuk dari berbagai macam suku bangsa, agama, pulau, dan kebudayaan. Tentu bukan hal yang jarang jika kita merasa berbeda dan merasa itu menyulitkan.
Wahib dan Soe Hok Gie dalam sosok yang saya baca memberikan sebuah pandangan yang luas akan pribadi. Kita adalah seseorang yang independen. Sebagai mahluk sosial, tentu kita membutuhkan orang lain dimana di dalam hidup ini menjadi bagian dari komunitas, golongan, mau pun kelompok yang kita dapatkan baik sejak kita lahir mau pun saat kita bertumbuh kembang. Lantas apakah kita harus menyamakan diri menjadi komunitas, kelompok, atau pun golongan tempat kita bersarang?
Sulit untuk menjawabnya dengan ya atau tidak. Tapi yang saya maknai sejauh ini, kita merupakan bagian dari golongan dan golongan merupakan bagian dari kita namun perbedaannya adalah, ya, kita dapat menjadi citra bagi golongan kita dan kita mampu mengubah entah sedikit atau banyak aspek-aspek dalam golongan kita. Tapi golongan kita tidak akan bisa mempengaruhi kita. Karena sebagai mana Soe Hok Gie menganggap dirinya sebagai orang merdeka, kita juga demikian.  Manusia sudah seharusnya mengalami banyak hal, bisa saja hal itu sama antara satu orang dengan orang yang lainnya, tapi hal-hal itu hanya akan menjadi faktor eksternal yang tentu saja bukan menjadi pengaruh satu-satunya. Masih ada faktor dari dalam/internal yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan, memikirkan, dan mengatakan apapun yang dikehendakinya.
Saya sendiri adalah seorang berdarah Jawa, lahir di Jakarta, menghabiskan masa kecil di Bekasi, beranjak dewasa di Bandung, dan menempuh pendidikan serius pertama saya (SMK) di Surabaya. Itulah sebabnya “The Jak”, “Viking”, serta “Bonek” tak bisa luput dari pemikiran konyol saya seputar krisis identitas yang saya alami. Tapi setelah saya dewasa (setidaknya sebentar lagi umur saya 18 tahun :P ), itu bukan lagi pertanyaan penting. Saya hanyalah seorang Indonesia, dengan kenyataan di atas, dan bagian dari dunia ini yang memiliki pemikiran, tindakan, dan cara bicara saya sendiri meskipun pada kenyataannya sastra yang saya baca, tokoh yang saya suka, musik yang saya dengar, dan berbagai aspek yang ada dalam pertumbuhan saya tak pernah berhenti merayap masuk dan mempengaruhi pandangan saya terhadap sesuatu.
Saya masih dalam proses. I am someone I want to be. Pada akhirnya pun, tidak semua dari aspek-aspek itu saya sukai. Tidak semua aturan dari komunitas, kelompok, maupun golongan yang saya anut saya jadikan pedoman hidup.
Seperti Wahib berkata, “Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku.” Saya selamanya akan terus memilah apa yang terbaik untuk diri saya. Sebab dunia ini dinamis, maka kita juga diharapkan menjadi dinamis. Prinsip yang statis harusnya diiringi dengan pengembangan ide yang lebih fleksibel.
Saya tidak akan menjadikan suku, agama, latar belakang ekonomi, serta segala faktor yang berada diluar intisari diri saya sendiri sebagai alasan yang menghalangi saya dalam berkembang dan berkreasi, seperti Gie berkata:
“Aku mengetahui tadi. Tapi aku juga menunjukkan bahwa tidak semua begitu dan itu dapat berubah. Kepribadian bangsa bagiku adalah suatu proses yang lama dalam situasi tertentu, tapi dalam situasi lain itu dapat berubah.” –Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, 12 April 1966.
Dia tidak mau membiarkan dirinya sendiri menjadi seorang Tionghoa yang menurut orang-orang sebagai materialis, pengkhianat, dan sebagainya. Begitu pun seharusnya kita bersikap. Sangat tolol jika kita menjadikan stereotip atas kita sebagai suatu pembenaran atas keadaan atau tindakan kita yang sifatnya negatif.
Saat ini semakin banyak perbedaan yang ada di sekitar kita, tapi kenapa semakin banyak kelompok-kelompok yang mengasingkan diri karena perbedaan yang ada, dan parahnya lagi, bersaing menjadi yang teratas di antara yang lainnya. Setiap orang dari berbagai latar belakang berbeda, sudah sepatutnya berkembang bersama-sama. Kita memiliki hak yang sama untuk maju.
Jika kita semua di sini sudah setuju untuk menjadi diri kita sendiri tanpa terikat status kita, hendaknya kita juga menghargai orang-orang lainnya. Berhenti menilai orang berdasarkan stereotip yang sering berkumandang di sekitar kita. Tidak semua orang Jogja baik, tidak semua orang Jakarta tak peduli, dan tidak semua orang Batak kasar. Kita semua memiliki rasa dan akal budi untuk memilih dan membuat kita sebagai pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain. Beri kesempatan bagi siapa pun untuk menjadi yang pribadi terbaik atas dirinya sendiri.
Ayo bersama-sama kita wujudkan kesejahteraan di negeri ini dan bangun Indonesia sebagai negara multikultural! Siap berkomitmen?

Salam pemudi Indonesia,



Gee ^ ^”

Minggu, 02 Juni 2013

Why Must Original?

Have you ever think about it before?
     Sekedar denger “Stop Bajakan!” dan “Belilah Produk Yang Asli!” sih pasti sering, lah, kita. Tapi pernah gak sih kita benar-benar memikirkan tentang sebabnya? Tentang kenapa sih kita harus beli yang asli bukan yang bajakan—atau yang dalam beberapa produk disebut KW(KW super=kualitas super, dll…)?
     Begini menurut saya, pertama, produk yang asli mengandung nilai seni. Gimana gak memiliki nilai seni lebih? Produk asli adalah pelopornya. Kalo banyak orang sampai buat bajakannya, itu pasti karena produk aslinya memukau, iya dong? Apalagi buat produk yang udah punya nama. Pasti ada yang lebih dari produk ini sampai si pembuatnya yakin sama potensi produk. Jadi jelas, produk yang asli pasti kualitasnya terjamin.
     Kedua, barang yang asli lebih tahan lama. Karena kualitas yang lebih tinggi ini, produk cenderung lebih awet. Pikir deh, daripada kita beli yang murah tapi baru sebentar rusak, lebih baik beli satu yang asli buat waktu yang lama, kan? Kalau dihitung-hitung, sebenarnya cermat membeli produk asli membuat kita bisa lebih hemat.
     Ketiga, dengan stop membeli bajakan, kita turut mendukung perkembangan kreatifitas bangsa. Yup. Peran kita sampai sebesar itu, loh, dalam menurunkan standar kreatifitas bangsa. Karena taukah kamu hey para pembeli bajakan (ini termasuk nunjuk diri sendiri, kok), ternyata kita yang memiliki peran paing tinggi dalam pembajakan yang terjadi. Ternyata banyak survey menyatakan, inovasi untuk membajak suatu karya/produk biasanya datang bukan dari si produsen bajakan, melainkan dari banyaknya permintaan pasar. Ya, dari kita-kita yang mau punya barang kece tanpa harus bayar selayaknya itu patut dihargai.
     Setiap barang punya harga dari brand mereka, nantinya kita pun akan turut serta dalam mendukung keberadaan dari brand itu jika kita beli yang asli. Contoh paling konkret adalah musik. Sadarr, kan, kalau musik yang terkenal di Indonesia cenderung itu-itu saja? Itu karena label musik mereka mengikuti trend pasar. Sebenarnya banyak kok musisi Indonesia yang berkarya dengan bagusnya disertai ide-ide orisinil mereka dan “bebas” serta tidak terpengaruh. Lalu kenapa musisi-musisi seperti itu tidak bisa berkembang dan cepat hilang dari industry musik Indonesia? Karena tidak banyak yang membeli CD asli mereka melainkan hanya bajakannya saja. Bagaimana bisa terus berkarya kalau tidak ada penghasilannya? Dengan membeli sau produk asli, kita sudah mengapresiasi penciptanya, pengrajin yang membuatnya, marketing b yang sudah mengeluarkan berbagai macam cara untuk mengiklankan produknya, serta semua orang yang terlibat di balik brand dari produk tersebut—begitu pun dalam membeli CD, kita mendukung musisinya untuk berkarya.
     Nah, sekarang kita tau, kan betapa pentingnya membeli produk asli atau original? Di luar itu semua, kita menyumbang banyak hal baik kok dengan membeli atau menggunakan produk atau sesuatu yang original. Lagipula, percaya deh, taste yang dikasih ga akan bohong. Sebagus apa pun tiruan itu, harga yang kita bayar adalah yang kita dapat. Kalau kita belum mampu membelinya, ya nabung dulu. Kalau memang tidak mampu, ya berkaca diri, pakailah atau gunakan sesuatu yang memang sepantasnya kamu bisa miliki. Act as yourself by wearing things that suit you the best.
      Masih ngotot mau beli yang bajakan? Terserah, sih.. Cuma tanya deh sama diri kamu sendiri, kenapa harus beli bajakannya brand ternama? Karena fungsi? Kan masih ada barang lain dengan harga yang lebih murah dan “asli” untuk. Karena nama? Ayolah, apa gunanya nama brand terkenal tapi palsu. It’s more embarrassing. Bayangkan kamu jadi CEO dari brand tersebut, apa gak sedih dibajak? So, think wisely before you buy product you want.

Because I care,

Gee


Selasa, 21 Mei 2013

The Circle of Lie


          Kamu tau film Death Note? Salah satu pemerannya adalah Tatsuya Fujiwara. Tatsuya Fujiwara memerankan tokoh Light Yagami yang cerdas, idealis, dan…menyeramkan. Beberapa hari yang lalu saya melihatnya di sebuah film yang ditonton kedua adik saya dan saya pun tertarik untuk menontonnya. Karena film itu sudah berjalan lebih dari setengahnya, saya memesan film tersebut di TV kabel langganan saya.
          Film itu adalah Paredo. Dari synopsisnya tergambar bahwa film tersebut adalah sebuah film misteri, namun ketika saya menonton, semuanya tampak baik dan biasa pada awalnya. Hidup lima orang dengan latar belakang yang berbeda di satu flat (semacam kamar di apartemen/rumah susun) yang tidak pernah benar-benar hidup bersama. Mereka hidup di satu tempat yang sama, memang, tapi tidak pernah benar-benar peduli dengan masalah hidup yang sebenarnya antara satu sama lain.
          Beberapa masalah yang datang di rumah itu membuat mereka akhirnya mau tidak mau “bangun” dari kondisi itu dan acuh tidak acuh menghadapinya bersama. Masalah-masalah bersama itu dimulai dari dugaan mereka bahwa flat di samping mereka adalah rumah bordil, terjadinya tindak kekerasan berantai di sekitar flat mereka, juga datangnya “pria penghibur pria” yang secara misterius ada dan akhirnya ikut tinggal di flat mereka. Satu demi satu cerita pun disuguhkan dalam film ini dan menguak sedikit demi sedikit misteri.
          Dari semua penggalan peristiwa yang dihadirkan, terlihat jelas bahwa sesungguhnya sejak awal mereka sudah tahu dan mengerti hidup masing-masing dari teman satu flatnya itu. Namun mereka memilih untuk mengabaikannya dan pura-pura tidak tahu untuk kenyamanan bersama. Ya, mereka tidak ingin terlibat dalam masalah teman mereka. Mereka hanya ingin mereka sama-sama nyaman dan damai sehingga tidak saling mengusik. Salah satu dari mereka sempat mengibaratkan flat mereka sebagai internet cafĂ© atau chat room di mana mereka bisa datang untuk menyenangkan diri (meski harus menghindar dari kenyataan) dan keluar ke dunia nyata kapan pun mereka mau.
          Hmm… Sejujurnya cerita ini membuat perut saya sakit. Entah karena ceritanya konyol atau karena saya juga ingin menyangkal dari kenyataan bahwa ini juga hal yang sangat sering terjadi di era kita? Menyeramkan. Sekaligus menyedihkan. Tekanan hidup bertambah seiring dengan zaman yang ada. Hal baik dan buruk kita lihat, dengar, atau rasakan baik secara langsung maupun dengan segala teknologi informasi dan komunikasi yang ada. Dengan segala kemudahan transportasi, komunikasi, serta teknologi lainnya, kita dapat dengan mudahnya bertemu banyak orang. Tapi apakah kita benar-benar megenalnya?
          Ironisnya, doktrin untuk menjadi orang yang baik yang diberikan lewat film atau lagu yang mengharukan membuat kita mengutuki hidup kita. Seringkali itu membuat kita membandingkan hidup kita yang jauh lebih buruk dengan apa yang kita saksikan dan malu akan itu. Pada akhirnya kita menganggap masalah adalah suatu aib yang seharusnya hanya kita yang tau. Kita lalu mencari teman untuk sekedar bersenang-senang dan melupakan masalah kita, bukannya benar-benar menyelesaikannya. Kita hanya bersembunyi. Kita berbohong. Bersama dengan teman yang sama “sakit”-nya dengan kita, kita menolak realita dan sejenak ingin merasakan kedamaian.
          Semuanya tentu saja semu. Palsu. Setiap hari kita tertawa bersama saat mata membuka, lalu tidur dengan mimpi buruk dan kegelisahan yang sama. Semakin realitanya buruk, semakin banyak kegelisahan yang muncul., semakin keras juga tertawa yang kita jadikan topeng saat bertemu wajah-wajah asing yang pura-pura kita kenal. Bukankah itu lebih menyakitkan? Terus menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya. Bahagia yang semu setelah gelisah di malam yang membuatmu jemu dan begitu seterusnya. Lingkaran setan yang paling mengerikan. Apakah kita mau terus-menerus hidup di dalam lingkaran kebohongan yang sama?
          Seseorang pernah berkata kepada saya, masalah yang paling menganggumu dan menurutmu paling rahasia, sesungguhnya adalah masalah yang paling umum, hanya saja kebanyakan orang lebih memilih untuk menutupinya. Jadi, siapa pun kamu, kamu tidak seburuk yang kamu kira. Selalu ada jalan untuk keluar ketika kamu siap untuk memotong garis pada lingkaranmu dan menjadikan itu sebagai satu garis lurus yang memiliki sebuah akhir. Berjalan maju dalam satu garis menuju suatu titik adalah satu pilihan. Apapun ujungnya, bukankah lebih baik jujur pada diri sendiri dan meninggalkan sakit yang sama setelah sekian lama?

XOXO
for every human being,

-Gee

Kamis, 18 April 2013

Belajar dari Si Hari Sabtu


                Minggu lalu seorang teman meminjamkan saya dua buku kumpulan cerpen. Salah satunya adalah Menuju(h). Buku inilah yang akan saya angkat di sini. Bukan seperti tinjauan buku-buku lainnya, saya hanya ingin membagi amanat yang saya dapatkan dari dua cerita yang terselip di dalamnya.
                Cerita-cerita itu ialah “Ke Mana Sabtu Pergi” dan “Ke Sana Sabtu Pergi” karya Sundea. Ya, sesuai namanya, kedua cerita ini sama-sama berkutat dengan hari Sabtu. Selain cerita ini, cerita-cerita lainnya juga cukup menarik untuk dibaca. Lalu kenapa saya mengangkat karya Sundea ini?  Karena dua tokohnya yakni Sabtu dan Bayang-Bayang yang begitu menarik minat saya. Mereka juga menyiratkan sebuah pesan yang menurut saya memang perlu untuk dibagikan.
                Di dalam cerita ini, Sabtu, seperti yang kita tahu adalah hari ke-6 dalam seminggu. Sabtu dikenalkan sebagai hari yang tengil, santai, dan beraroma liburan—sesuai dengan kenyataan yang kita rasakan. Ia menyerupai diri kita, terkadang tidak menyadari bahwa dirinya berperan penting bagi kelangsungan hidup ini. Sabtu pun menyamar menjadi sosok yang lain. Sekali ini Sabtu ingin berhenti sementara menjadi hari dan mulai menikmati hari.
                Di sepanjang kehidupannya sebagai sosok yang lain itu Sabtu terus diikuti oleh tokoh lainnya, Bayang-bayang. Bayang-bayang yang gelap dan melambangkan segala keburukan, baik itu terlihat dan tidak terlihat. Bayang-bayang selalu mencari celah untuk memberikan keragu-raguan, ketakutan, dan kebencian kepada Sabtu yang tengil. Namun Sabtu mengabaikannya hingga satu saat seorang gadis kecil mengambilnya karena mengira ia adalah sabut kelapa ajaib.
                Gadis itu membawanya dan berharap Sabtu dalam sosok yang lain itu  bisa menjadi jimat pembawa keberuntungan untuk abangnya yang akan berlomba layang-layang di keesokan harinya, hari yang seharusnya adalah Sabtu. Hari itu mungkin tidak akan pernah ada, karena Sabtu sudah memutuskan untuk tidak lagi menjadi hari. Di saat itulah bayang-bayang memanfaatkan waktu untuk menakut-nakuti Sabtu dengan mengatakan bahwa Sabtu akan menyesal selamanya karena telah mengacaukan waktu. Lain dengan usaha-usahanya yang sudah-sudah, saat ini bisikan bayang-bayang mampu merasuki pikiran Sabtu.
                Apa yang setelah itu Sabtu lakukan? Merasa terhantui? Tidak. Sabtu menghilang dari wujudnya sebagai sabut kelapa dan kembali pada deretan hari yang telah lama cemas menunggu kedatangannya kembali.
                Teman-teman, sadarkah kita kalau selama ini hidup kita terlalu dikendalikan oleh bayang-bayang? Kita terlalu takut dengan ini dan itu dalam mengambil tindakan. Kita merasa diri kita tidak cukup baik, merasa terintimidasi dengan hal-hal yang sebenarnya tidak mengganggu sama sekali, dan parahnya lagi, kita justru melakukan banyak hal tidak berguna berkaitan dengan keragu-raguan yang memang hanya BAYANG-BAYANG.
                Kita kalah dengan Sabtu yang dinilai tengil dan santai. Sabtu tahu mana ketakutan yang masih berupa angan dan mana yang nyata. Bahkan ketika bayang-bayang mencekokinya dengan mengatakan dia akan menyesal seumur hidup, Sabtu mengatasinya dengan melakukan tindakan. Dia membuktikan bahwa sesuatu tidak seharusnya hanya berakhir pada perasaan menyesal. Penyesalan seharusnya diikuti dengan tindakan untuk memperbaiki keadaan.
                Seorang teman saya pernah berkata “kamu tuh jangan mikir lima langkah ke depan. Cukup pikirin satu langkah dan jalan! Setelah kamu jalan, kamu akan tahu jalan mana yang harus kamu ambil berikutnya.” Sekarang saya mengerti maksud teman saya. Resiko tentu selalu ada. Tetapi, dengan berjalan maju ke depan, saya akan lebih dekat dengan tujuan saya dan semakin tahu apa yang harus saya perbuat.
                Mulai sekarang, mari kita pun bersama-sama menjadi manusia yang lebih optimis lagi. Menjadi pribadi yang tidak takut menjalankan mimpi masing-masing. Boleh saja merencanakan keuntungan dan kerugian yang akan datang, tapi ingat, perjalanan tidak akan dimulai jika kita hanya terus merencanakan tanpa menjalankannya. Untuk yang sebentar lagi tes masuk universitas, yang mau membuka usaha, atau siapa pun yang merasa ragu-ragu dengan tekadnya meneruskan mimpi, mulailah berjalan. Jalan kita masih panjang, teman! Sayang banget, kan, kalau kita menunda perjalanan dan melewatkan kesempatan yang lagi menunggu kita di depan sana? Apa juga jadinya kalau nantinya tidak mempunyai cukup waktu untuk bagian terbaiknya?
                Untuk cerita lengkapnya, ya…bukan kewenangan saya bercerita, jadi silahkan membaca sendiri (gak niat ngiklan, serius!). Tapi yang jelas, dengan note ini, saya pun akhirnya melakukan hal yang lama saya ingin lakukan. Berbagi cerita dan menginspirasi. Siap mulai  untuk giliranmu? ;)

Go Go Power rangers!!
-Gee

(Artikel ini ini saya re-post dari postingan awal di youngontop.com)