“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.” –Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian (Jakarta: LP3ES, 1982), Cetakan 42 hal. 46.
“Aku bukan wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku.” –Ibid, hal. 55.
Dua
kutipan Wahib di atas hanyalah sekian dari banyaknya runcing bambu yang
menyadarkan saya atas salah satu permasalahan di era kita ini. Buku Soe Hok Gie:
Catatan Harian Seorang Demonstran ini memberi saya begitu banyak filosofi yang
menghibur diri yang terkadang merasa sepi dan sendiri di tengah perbedaan yang ada
di tengah masyarakat. Kita bangsa Indonesia, pada hakikatnya terbentuk dari
berbagai macam suku bangsa, agama, pulau, dan kebudayaan. Tentu bukan hal yang
jarang jika kita merasa berbeda dan merasa itu menyulitkan.
Wahib
dan Soe Hok Gie dalam sosok yang saya baca memberikan sebuah pandangan yang
luas akan pribadi. Kita adalah seseorang yang independen. Sebagai mahluk sosial,
tentu kita membutuhkan orang lain dimana di dalam hidup ini menjadi bagian dari
komunitas, golongan, mau pun kelompok yang kita dapatkan baik sejak kita lahir
mau pun saat kita bertumbuh kembang. Lantas apakah kita harus menyamakan diri
menjadi komunitas, kelompok, atau pun golongan tempat kita bersarang?
Sulit
untuk menjawabnya dengan ya atau tidak. Tapi yang saya maknai sejauh ini, kita
merupakan bagian dari golongan dan golongan merupakan bagian dari kita namun
perbedaannya adalah, ya, kita dapat menjadi citra bagi golongan kita dan kita
mampu mengubah entah sedikit atau banyak aspek-aspek dalam golongan kita. Tapi
golongan kita tidak akan bisa mempengaruhi kita. Karena sebagai mana Soe Hok
Gie menganggap dirinya sebagai orang merdeka, kita juga demikian. Manusia sudah seharusnya mengalami banyak hal,
bisa saja hal itu sama antara satu orang dengan orang yang lainnya, tapi
hal-hal itu hanya akan menjadi faktor eksternal yang tentu saja bukan menjadi
pengaruh satu-satunya. Masih ada faktor dari dalam/internal yang mempengaruhi
seseorang dalam melakukan, memikirkan, dan mengatakan apapun yang
dikehendakinya.
Saya
sendiri adalah seorang berdarah Jawa, lahir di Jakarta, menghabiskan masa kecil
di Bekasi, beranjak dewasa di Bandung, dan menempuh pendidikan serius pertama
saya (SMK) di Surabaya. Itulah sebabnya “The Jak”, “Viking”, serta “Bonek” tak
bisa luput dari pemikiran konyol saya seputar krisis identitas yang saya alami.
Tapi setelah saya dewasa (setidaknya sebentar lagi umur saya 18 tahun :P ), itu
bukan lagi pertanyaan penting. Saya hanyalah seorang Indonesia, dengan
kenyataan di atas, dan bagian dari dunia ini yang memiliki pemikiran, tindakan,
dan cara bicara saya sendiri meskipun pada kenyataannya sastra yang saya baca,
tokoh yang saya suka, musik yang saya dengar, dan berbagai aspek yang ada dalam
pertumbuhan saya tak pernah berhenti merayap masuk dan mempengaruhi pandangan
saya terhadap sesuatu.
Saya
masih dalam proses. I am someone I want to be. Pada akhirnya pun, tidak semua
dari aspek-aspek itu saya sukai. Tidak semua aturan dari komunitas, kelompok,
maupun golongan yang saya anut saya jadikan pedoman hidup.
Seperti
Wahib berkata, “Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus
berproses menjadi aku.” Saya selamanya akan terus memilah apa yang terbaik
untuk diri saya. Sebab dunia ini dinamis, maka kita juga diharapkan menjadi
dinamis. Prinsip yang statis harusnya diiringi dengan pengembangan ide yang
lebih fleksibel.
Saya
tidak akan menjadikan suku, agama, latar belakang ekonomi, serta segala faktor
yang berada diluar intisari diri saya sendiri sebagai alasan yang menghalangi
saya dalam berkembang dan berkreasi, seperti Gie berkata:
“Aku mengetahui tadi. Tapi aku juga menunjukkan bahwa tidak semua begitu dan itu dapat berubah. Kepribadian bangsa bagiku adalah suatu proses yang lama dalam situasi tertentu, tapi dalam situasi lain itu dapat berubah.” –Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, 12 April 1966.
Dia
tidak mau membiarkan dirinya sendiri menjadi seorang Tionghoa yang menurut
orang-orang sebagai materialis, pengkhianat, dan sebagainya. Begitu pun
seharusnya kita bersikap. Sangat tolol jika kita menjadikan stereotip atas
kita sebagai suatu pembenaran atas keadaan atau tindakan kita yang sifatnya negatif.
Saat
ini semakin banyak perbedaan yang ada di sekitar kita, tapi kenapa semakin
banyak kelompok-kelompok yang mengasingkan diri karena perbedaan yang ada, dan
parahnya lagi, bersaing menjadi yang teratas di antara yang lainnya. Setiap
orang dari berbagai latar belakang berbeda, sudah sepatutnya berkembang
bersama-sama. Kita memiliki hak yang sama untuk maju.
Jika
kita semua di sini sudah setuju untuk menjadi diri kita sendiri tanpa terikat
status kita, hendaknya kita juga menghargai orang-orang lainnya. Berhenti
menilai orang berdasarkan stereotip yang sering berkumandang di sekitar kita.
Tidak semua orang Jogja baik, tidak semua orang Jakarta tak peduli, dan tidak
semua orang Batak kasar. Kita semua memiliki rasa dan akal budi untuk memilih
dan membuat kita sebagai pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain. Beri
kesempatan bagi siapa pun untuk menjadi yang pribadi terbaik atas dirinya sendiri.
Ayo
bersama-sama kita wujudkan kesejahteraan di negeri ini dan bangun Indonesia
sebagai negara multikultural! Siap berkomitmen?
Salam pemudi Indonesia,
Gee ^ ^”
Wah berat nih bahasannya Yo.... Sering baca-baca lu?
BalasHapusBtw, I'm Eldo.... LOL
Wuidii.. User name pakek hanzi, tuh? xDD
BalasHapusBaca itu hobi dari TK, mamen...
Dari SD gw setan perpus. Haha..^ ^
Thx ya udah baca, any comment? :)
Hahaha, itu nama gua jg Yo....
BalasHapusUntuk penulis remaja bagus kok